Hari
sudah malam. Hitam pekat kesunyian memabuk bisu. Semua orang pulang membawa air
mata tumpah. Rasa duka cita tersirat hingga menusuk kalbu. Kini sendirilah aku
diranjang pengantin terakhir. Gaun putih berselendang bagai sayap kupu-kupu.
Aku tak ingin tidur ditempat peristirahatan panjang ini, aku masih ingin
meneguk nikmatnya anggur kebahagiaan yang Tuhan karuniakan. Sia-sia!. Ku baca
papan diatas pusaraku, namaku tertera beserta lengkap tanggal hari kelahiran
dan hari wafatku.
Aku
bosan memandangi hitam malam berkabut sepi, kini aku bisa terbang untuk
menyinggahi kemana aku ingin pergi.
Bagiku meninggalkan kekasih tercinta adalah sebuah dosa. Kebahagiaan secuil
yang ku dapatkan harus diganjar dengan penderitaan akibat perpisahan. Tujuanku
yaitu singgasana kekasihku yang kini bertabur duka.
Aku
tiba dikamarnya. Aku menjelma bersama udara hingga ia merasakan wanginya melati
yang ku bawa. Satria kekasihku duduk dikursi sambil menyaksikan video portable berkisah tentang perjalanan
cinta kita. Ya, hanya itu yang dapat ia lakukan untuk melampiaskan hasrat
rindunya terhadapku. Air matanya bak lautan pecah, tsunami kehidupan mendung
dimatanya! Namun apalah dayaku? Menyentuhnya pun aku tak mampu; sebab aku adalah
angin aku adalah penghuni dunia kedua antara ada dan tiada.
Aku
duduk disisinya menyaksikan putaran film
documenter berdurasi 1 jam 20 menit. Dikursinya, satria hanya diam. Kaset
VCD yang ia putar berlatar di SMA sewaktu menjalani masa orientasi.
“Baiklah
ade-ade, nama saya satria. Saya adalah ketua OSIS di SMA ini. Senang sekali rasanya
saya bisa bertemu dengan ade-ade semuanya….. ”
Disitu,
dua orang angggota OSIS sedang melakukan proses shooting pada kegiatan MOS. Mereka mengarahkan kameranya padaku hinga
dalam video tersebut wajahku muncul berkali-kali. Terdengar percakapan keduanya
membicarakan aku.
“Eh
lihat deh, gue berani taruhan cewek ini yang nanti bakal dinobatkan jadi siswi
tercantik tahun ini”
“Mana?
Mana..? oh.. dia! Saya setuju kalau dia dinobatkan sebagai siswi tercantik
tahun ini. Mashallah senyumannya… ”
Pada
MOS itulah kita berkenalan. Satria adalah lelaki pertama yang saya kagumi.
Meski penampilannya biasa-biasa saja, tapi ada karisma dalam dirinya sehinga
aku jatuh cinta. Dan ku pikir status sosial Satria sama sepertiku yaitu anak
seorang karyawan biasa. Tapi aku salah, ternyata Satria adalah putra dari pengusaha terkaya. Beliau adalah atasan
ayahku. Singkat cerita kami jadian.
Usai
melihat rekaman MOS, rekaman selanjutnya yaitu masa pacaran. Satria membawaku
berkeliling area wisata. Berbagai tempat kami kunjungi. Sepeda motor gede
kesayangannyalah yang membawa kita ditempat-tempat yang istimewa.
Terik
matahari merona, kita berhenti disebuah kios kacamata lalu membeli dua kacamata
hitam. Aku dan Satria bak sepasang koboi mencari jalan cinta. Ku kepakan
tanganku seperti elang. Sungguh indah kebersamaan hari itu.
Video
episode ketiga menggambarkan suasana makan malam dirumahku. Disitu kuperkenakan
Satria pada kedua orang tuaku.
“
Ayah, ibu kenalkan ini Satria…” kataku
“Selamat
malam mom, tante…” sapa Satria
“
Selamat malam anak muda, kami senang bertemu denganmu.” Kata ayahku yang terlihat
menyukai Satria.
Suatu hari ayahku mengetahui bahwa Satria
adalah putra tunggal pak Pratama yaitu atasan ayah sehingga akhirnya ayah
menentang hubungan kita.
“Sahara,
ayahmu benar sebaiknya kamu tinggalkan satria! Derjat kita berbeda dia adalah
putra dari seorang pengusaha terkenal.” Kata ibu.
“
Satria mencintaiku bu! Ia mencintaiku tanpa memandang baahwa aku hanyalah
seorang anak buruh biasa. Ia tulus padaku bu percayalah.” Aku meyakinkaan ibu.
“
Ibu tahu, ibu hanya tidak ingin kamu sakit hati. Kita masih belum tahu apakah
keluarga besarnya dapat menerimamu? ”
Apa
yang diperkirakan kedua orang tuaku ternyata benar. Kedua orang tua Satria
tidak merestui kami. Masalah mulai terjadi.
Akhirnya
kami memutuskan untuk berpisah saja. Kami ingin saling melupakan satu sama
lain. Sementara itu, keputusan tersebut membuat bara api cinta semakin membara.
Perpisahan hanya semakin menyulut bara api cinta hingga membakar relung jiwa.
Kamipun bercinta kembali.
Butuh
waktu yang lama untuk memohon restu kedua orang tua kami. Tahun berganti tahun
berlalu, selama itu pula kami berusaha mendapatkan doa restu.
Video
itu kini memutar adegan sandiwara saat Satria pura-pura sakit parah. Satria memanage semuanya dengan sangat rapih. Ketika
seorang receiptionis memberi kabar
kepada kedua orang tua Satria. Mereka shock
saat mendatangi rumah sakit tempat Saria terbaring.
“Mah
sudah jangan nangis!” pinta Satria
“Kenapa
kau tidak mengatakan tentang penyakit yang selama ini kau derita anakku?” isak
ibunya.
“
Maaf mah…”
Disitulah
Satria meminta restu kepada orang tuanya untuk meminangku. Permintaannya tersebut
sebagai permohonan terakhir . sungguh kebohongan yang sempurna!.
Lantas
permintaan Satria dikabulkan. Kedua orang tuanya beserta kerabat dekat
mendatangi kediamanku untuk meminang. Betapa bahagianya hatiku ketika ayahku
menerima lamaran itu. Lalu kami sepakat untuk melaksanakan pesta pertunangan setelah
satria sembuh dari penyakit sandiwaranya.
Setelah
bertunangan, kami merasa perjuangan kami telah sukses, selangkah lagi kami
menuju jenjang pernikahan yang merupakan peristiwa sacral seumur hidup. “hanya
kematian yang akan memisahkan cinta kita berdua” janji kita.
Minggu
22 Desember, kala semburat rona senja terpancar bagai kilau permadani,
disitulah canda dan tawa merekah. Aku mengembangkan senyuman saat mendengar
bahwa pesta pernikahan kami digelar pada akhir bulan. Pada hari itu kami menuju
villa dimana keluarga besar berkumpul mengadakan pesta BBQ yang bertujuan untuk mendekatkan antar keluarga.
Dijalan
itu lengang, tak ada seorang pun melintas namun entah apa yang terjadi dengan
mobil yang kami tumpangi, kami mencium bau bensin. Tiba-tiba mengepul asap dari
depan mobil.
“Ada
kabel yang konslet!” duga Satria. Lalu ia berusaha menghentikan mobilnya akan
tetapi rem mobil tersebut blong sehingga mobil tetap melaju 70 km/jam. Satria memintaku
untuk loncat namun sabuk pengaman yang melilit tubuhku mengalami kemacetan. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyelamatkan Satria. Akhirnya ku dorong
Satria hingga berguling-guling disemak
belikar. Sedangkan aku terperangkap
didalam mobil.
Adegan
mobil itu berdentum sungguh dahsat. Aku mati terbakar. Kamera CCTV berbentuk pena adalah bukti
peristiwa naas itu.
Dalam
kematian ku aku merasa lega karena aku berhasil menyelamatkan kekasih jiwaku. Walau
aku telah mati tapi cintaku tetap hidup.
“Berbagai
cara telah kami lakoni akan tetapi semua kehendak ada di tangan Tuhan.”
Kini
dikursinya Satria tak sadarkan diri. Ingin sekali aku memeluknya erat. Satria tertidur
ditemani duka nestapa.
Malam
semakin larut, sunyi sepi! Semoga dalam tidurnya ia bermimpi tentang hari yang
indah, hari disaat ia menemukan kembali cinta pengganti diriku. Semoga ia
segera melupakan aku…
Walaupun
aku tidak ingin kembali pada rumah istirahat panjangku namun aku harus tetap
terbang untuk pulang dalam pusara yang terukir namaku disanlah selamanya aku
tidur. Tanah telah menjadi ranjang pengantin pelipur lara. Aku telah mati…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar